Bahasa dan Kekuasaan dalam Wacana Politik Digital: Analisis Linguistik Kritis di Media Sosial

Bahasa dan Kekuasaan dalam Wacana Politik Digital: Analisis Linguistik Kritis di Media Sosial

Joki Tugas - Di era digital saat ini, politik tidak lagi hanya berlangsung di ruang-ruang fisik seperti parlemen atau kampanye lapangan. Medan pertempuran utama telah berpindah ke media sosial. Di ruang inilah bahasa menjadi senjata utama. Narasi, framing, tagar (#), dan simbol visual digunakan untuk membentuk persepsi publik, mengarahkan opini, dan bahkan menggiring keputusan politik.

Bahasa dalam wacana politik digital bukan sekadar alat komunikasi, melainkan medium kekuasaan. Melalui bahasa, aktor politik dapat menyampaikan ideologi, membangun citra, sekaligus mendiskreditkan lawan. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis bagaimana bahasa digunakan secara strategis, siapa yang mendapat keuntungan dari penggunaan tertentu, dan bagaimana struktur sosial dan ideologis direproduksi dalam praktik linguistik tersebut.

Wacana Politik Digital: Antara Demokratisasi dan Manipulasi

Wacana politik digital merupakan representasi dari kontestasi ideologi, gagasan, dan kekuasaan yang berlangsung di platform digital seperti Twitter, Facebook, TikTok, dan Instagram. Salah satu ciri utama wacana ini adalah kecepatan, keterbukaan, dan kemampuannya untuk menjangkau jutaan orang dalam waktu singkat.

Namun, kemudahan akses ini membawa ambiguitas. Di satu sisi, media sosial memberi ruang bagi partisipasi publik yang lebih luas dan terbuka. Rakyat bisa menyuarakan opini, melakukan kritik, bahkan membentuk gerakan sosial. Di sisi lain, aktor politik bisa dengan mudah merekayasa narasi publik dengan memanfaatkan algoritma, buzzer, dan hoaks.

Disinilah letak pentingnya analisis wacana politik digital: untuk mengungkap bagaimana kekuasaan bekerja secara simbolik melalui bahasa.

Bahasa Sebagai Alat Kekuasaan

Menurut pendekatan Linguistik Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), bahasa tidak pernah netral. Ia selalu merepresentasikan kepentingan, ideologi, dan struktur kekuasaan tertentu. Dalam konteks politik digital, ini terlihat dari cara tokoh politik, partai, atau simpatisan merancang pesan-pesan politiknya.

Misalnya, penggunaan diksi seperti “pengkhianat bangsa”, “radikal”, atau “kadrun” tidak hanya menggambarkan lawan politik, tetapi juga memberi efek psikologis dan membentuk citra tertentu di benak publik. Sebaliknya, istilah seperti “pemersatu bangsa”, “merakyat”, atau “progresif” digunakan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan.

Bahasa semacam ini membentuk framing, yaitu bagaimana realitas dipersepsikan. Framing yang berhasil dapat memengaruhi persepsi publik secara luas, bahkan menentukan arah kebijakan atau kemenangan politik dalam pemilu.

Peran Media Sosial dalam Produksi dan Reproduksi Wacana

Media sosial sebagai medium utama wacana politik digital memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari media konvensional. Ia bersifat:

a. Partisipatif: Semua pengguna dapat menjadi produsen wacana.

b. Non-hierarkis: Tidak ada otoritas tunggal yang mengatur arus informasi.

c. Algoritmik: Penyebaran informasi ditentukan oleh engagement, bukan kualitas isi.

Dalam konteks ini, bahasa menjadi sangat fleksibel dan cair. Kata-kata, meme, atau video singkat bisa menjadi viral dan membentuk opini publik tanpa melalui verifikasi fakta.

Salah satu fenomena penting adalah penggunaan tagar atau hashtag politics seperti #PindahAjaDulu atau #JokowiForever. Tagar ini menjadi simbol linguistik yang mewakili ideologi tertentu dan berfungsi sebagai alat mobilisasi massa.

Analisis Linguistik Kritis terhadap Konten Politik Digital

Critical Discourse Analysis (CDA) menelaah bagaimana bahasa membentuk dan dibentuk oleh struktur kekuasaan. Tiga aspek penting dalam pendekatan CDA yang relevan dalam konteks media sosial adalah:

1. Teks

Analisis teks mencakup pemilihan kata (leksikon), struktur kalimat, metafora, serta strategi retorika yang digunakan. Misalnya, dalam pidato atau unggahan politik, penggunaan kata "kami" dibanding "mereka" menciptakan batas identitas yang kuat.

2. Praktik Diskursif

Mengacu pada bagaimana teks dikomunikasikan, disebarluaskan, dan dikonsumsi. Praktik ini termasuk strategi kampanye digital, interaksi di komentar, serta penggunaan influencer atau buzzer.

3. Praktik Sosial

Level ini menganalisis bagaimana wacana berkontribusi pada pembentukan atau pelanggengan struktur sosial dan ideologi. Misalnya, bagaimana narasi tertentu digunakan untuk membenarkan represi terhadap kelompok oposisi, atau untuk menciptakan kepanikan publik.

Dengan CDA, kita dapat memahami bahwa bahasa dalam wacana politik digital tidak lepas dari konteks kekuasaan yang lebih luas.

Manipulasi Bahasa dan Polarisasi Politik

Salah satu efek dari penggunaan bahasa dalam politik digital adalah meningkatnya polarisasi. Bahasa yang digunakan oleh kelompok politik sering kali bersifat antagonistik, mengandung ujaran kebencian, atau menyederhanakan kompleksitas menjadi dikotomi hitam-putih: kami vs mereka, nasionalis vs anti-nasionalis, pro-pemerintah vs anti-pemerintah.

Kondisi ini diperparah oleh algoritma media sosial yang cenderung memperkuat echo chamber ruang gema digital di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang sejalan. Akibatnya, bahasa politik menjadi sarat emosi, dangkal, dan sulit untuk menjadi ruang dialog yang sehat.

Perlawanan Simbolik dan Reposisi Bahasa

Meskipun demikian, publik tidak selalu pasif. Muncul juga bentuk-bentuk counter-discourse atau wacana tandingan. Misalnya, tagar balasan yang berupaya meruntuhkan narasi dominan, penggunaan satire politik, dan kampanye kesadaran literasi media.

Dalam beberapa kasus, aktivis digital berhasil merebut kembali makna dari istilah tertentu yang sebelumnya digunakan untuk mendiskreditkan. Ini menunjukkan bahwa bahasa dalam politik digital bersifat dinamis, dan kekuasaan simbolik selalu bisa diperebutkan kembali.

Bahasa adalah medan kekuasaan. Dalam era politik digital, kekuasaan tidak hanya berlangsung melalui undang-undang atau lembaga negara, tetapi juga melalui narasi, diksi, dan simbol-simbol linguistik yang berseliweran di media sosial.

Dengan memahami analisis linguistik kritis terhadap wacana politik digital, kita bisa lebih sadar bagaimana opini publik dibentuk, siapa yang mengendalikan narasi, dan bagaimana masyarakat bisa bersikap lebih kritis terhadap informasi yang dikonsumsi.

Penting bagi masyarakat untuk tidak hanya menjadi konsumen wacana politik, tetapi juga menjadi aktor yang sadar, reflektif, dan mampu membongkar struktur simbolik di balik setiap kata yang digunakan di ranah digital.