Digital Surveillance dan Kuasa Data: Analisis Foucauldian atas Masyarakat yang Diawasi

Joki Tugas - Di era digital, batas antara privasi dan pengawasan semakin kabur. Aktivitas sehari-hari seperti berbelanja online, menggunakan media sosial, hingga berjalan di ruang publik kini dapat terekam, dianalisis, dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah, perusahaan teknologi, hingga algoritma kecerdasan buatan. Fenomena ini disebut digital surveillance atau pengawasan digital, yakni praktik pemantauan perilaku individu melalui teknologi digital dan data besar (big data).

Michel Foucault, seorang filsuf Prancis yang dikenal melalui teori panopticon dan power/knowledge, menjadi tokoh penting dalam memahami fenomena ini. Menurut Foucault, kekuasaan modern tidak lagi bersifat koersif atau represif, melainkan bekerja melalui pengawasan yang halus dan terus-menerus. Dalam konteks digital, kuasa ini hadir melalui data di mana individu tidak lagi sekadar pengguna teknologi, melainkan juga objek yang diawasi, dianalisis, dan dikendalikan.

Pengawasan Digital dalam Konteks Dunia Modern

Pengawasan bukan hal baru dalam sejarah manusia. Namun, kemajuan teknologi informasi membuat pengawasan menjadi lebih kompleks, sistematis, dan tersembunyi. Jika dulu pengawasan dilakukan oleh aparat negara melalui sistem keamanan atau militer, kini pengawasan dilakukan oleh algoritma dan mesin yang menghimpun data setiap detik.

Platform seperti Google, Facebook, TikTok, dan Instagram merekam setiap klik, pencarian, dan interaksi pengguna. Data tersebut digunakan untuk memprediksi preferensi, mempersonalisasi iklan, bahkan membentuk opini publik. Di satu sisi, teknologi ini meningkatkan efisiensi dan kenyamanan hidup; namun di sisi lain, ia menciptakan sistem pengawasan yang tidak kasatmata sebuah panopticon digital.

Dalam masyarakat digital, pengawasan tidak lagi dipaksakan dari luar, melainkan diterima dengan sukarela. Kita memberikan data pribadi demi kenyamanan: login otomatis, rekomendasi video, atau hasil belanja yang “relevan”. Di sinilah kekuasaan bekerja secara halus bukan dengan paksaan, melainkan melalui persuasi dan ketergantungan.

Foucault dan Konsep Panopticon: Dari Penjara ke Dunia Digital

Untuk memahami fenomena pengawasan digital, kita perlu kembali pada konsep panopticon yang dikemukakan oleh Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish (1975). Panopticon adalah desain penjara yang dirancang oleh Jeremy Bentham pada abad ke-18, di mana seorang pengawas dapat melihat seluruh tahanan tanpa terlihat.

Foucault menafsirkan panopticon sebagai metafora kekuasaan modern di mana individu berperilaku disiplin karena merasa selalu diawasi, meski tanpa kehadiran pengawas nyata. Pengawasan ini menciptakan mekanisme kontrol diri (self-discipline) yang efektif dan berkelanjutan.

Dalam konteks digital, panopticon hadir dalam bentuk algoritma, kamera CCTV, sensor, dan sistem data yang mengawasi perilaku manusia secara terus-menerus. Kita menjadi “tahanan sukarela” dalam ekosistem digital yang penuh kenyamanan dari media sosial hingga sistem e-commerce sambil tanpa sadar membiarkan identitas dan kebiasaan kita direkam dan dimonetisasi.

Kuasa Data: Bentuk Baru Kekuasaan di Era Digital

Jika pada era industri kekuasaan dipegang oleh pemilik modal dan alat produksi, maka pada era digital kekuasaan berpindah kepada pemilik data. Data is the new oil ungkapan populer ini menggambarkan betapa pentingnya data sebagai sumber kekuasaan dan keuntungan ekonomi.

Perusahaan teknologi besar (Big Tech) seperti Google, Amazon, Meta, dan Apple memiliki kekuasaan yang luar biasa karena kemampuan mereka mengolah miliaran data pengguna setiap harinya. Melalui machine learning dan predictive analytics, data diubah menjadi informasi yang dapat mengatur perilaku konsumsi, opini politik, hingga preferensi sosial masyarakat.

Foucault menyebut fenomena ini sebagai bentuk biopower kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia, bukan melalui kekerasan, tetapi melalui pengetahuan dan pengawasan. Dalam konteks digital, biopower bekerja melalui sistem data yang mengatur apa yang kita lihat, beli, pikirkan, dan percayai. Kuasa data tidak hanya memantau, tetapi juga membentuk realitas sosial.

Masyarakat yang Diawasi: Antara Kebebasan dan Kepatuhan Digital

Masyarakat modern hidup dalam paradoks antara kebebasan digital dan keterawasan data. Kita merasa bebas memilih konten, mengekspresikan opini, dan berinteraksi secara global. Namun, setiap tindakan digital meninggalkan jejak data yang dapat digunakan untuk memantau dan memengaruhi perilaku kita.

Foucault menyebut proses ini sebagai disciplinary society masyarakat yang tunduk pada norma dan kontrol, bukan karena paksaan eksternal, tetapi karena mekanisme internal. Dalam konteks digital, masyarakat menginternalisasi pengawasan dengan cara yang lebih halus: mengatur citra diri di media sosial, menyesuaikan perilaku sesuai algoritma, dan mencari validasi dalam bentuk likes atau views.

Kondisi ini melahirkan apa yang disebut para teoritikus kontemporer sebagai digital subjectivity identitas manusia yang dibentuk dan dikontrol oleh sistem digital. Manusia menjadi subjek sekaligus objek dari pengawasan yang tak berujung.

Algoritma sebagai Pengawas Baru

Dalam masyarakat digital, pengawasan tidak lagi dilakukan oleh manusia, tetapi oleh algoritma. Algoritma mengamati perilaku pengguna, memproses data besar, dan membuat keputusan otomatis dari rekomendasi konten hingga penilaian risiko kredit.

Foucault mungkin akan melihat algoritma sebagai bentuk baru dari panoptic gaze tatapan pengawas yang tidak pernah berhenti. Algoritma bekerja tanpa emosi dan tanpa batas waktu, menciptakan sistem pengawasan yang objektif namun tidak manusiawi.

Masalah muncul ketika algoritma membawa bias atau digunakan untuk kepentingan tertentu. Misalnya, sistem pengenalan wajah (facial recognition) yang diskriminatif, atau algoritma media sosial yang memperkuat polarisasi politik. Dengan demikian, algoritma bukan sekadar alat teknologi, melainkan instrumen kekuasaan yang membentuk tatanan sosial baru.

Privasi, Etika, dan Perlawanan terhadap Kuasa Data

Dalam menghadapi dominasi pengawasan digital, isu privasi dan etika menjadi semakin penting. Setiap individu memiliki hak untuk mengontrol data pribadinya, namun realitasnya banyak yang tidak memahami bagaimana data mereka dikumpulkan dan digunakan.

Gerakan data sovereignty (kedaulatan data) mulai muncul di berbagai negara, menuntut regulasi yang lebih ketat terhadap perusahaan teknologi dan perlindungan terhadap data pribadi warga. Uni Eropa, misalnya, telah menerapkan General Data Protection Regulation (GDPR) untuk mengatur transparansi dan tanggung jawab pengelolaan data.

Selain kebijakan, perlawanan juga dapat dilakukan melalui kesadaran digital (digital literacy). Masyarakat perlu memahami bahwa setiap tindakan daring memiliki konsekuensi. Dengan kesadaran ini, pengguna dapat lebih kritis terhadap platform digital dan lebih bijak dalam membagikan informasi pribadi.

Analisis Foucauldian terhadap Kuasa Digital

Dari perspektif Foucauldian, kekuasaan dalam masyarakat digital bukanlah sesuatu yang berada di tangan satu pihak, melainkan tersebar dalam jaringan teknologi dan hubungan sosial. Pengawasan bukan sekadar alat kontrol, tetapi juga mekanisme produksi pengetahuan dan identitas.

Dengan mengawasi perilaku pengguna, sistem digital menghasilkan pengetahuan tentang manusia dari preferensi politik hingga kecenderungan psikologis. Pengetahuan ini kemudian digunakan untuk mengatur, mengontrol, bahkan memprediksi tindakan individu. Dalam kerangka Foucault, hal ini menunjukkan bagaimana power dan knowledge saling berkelindan dalam membentuk masyarakat disiplin digital.

Masyarakat modern bukan lagi hidup dalam penjara fisik, tetapi dalam “penjara data” di mana kebebasan tampak nyata, namun setiap langkah diawasi dan diarahkan oleh logika algoritma.

Fenomena digital surveillance memperlihatkan bahwa kekuasaan di era digital tidak lagi bersifat eksplisit, melainkan bekerja secara halus melalui sistem data dan algoritma. Dengan membaca fenomena ini melalui lensa Foucault, kita dapat memahami bahwa masyarakat kini hidup dalam struktur kekuasaan baru yang tak terlihat namun sangat nyata.

Kesadaran kritis menjadi kunci untuk menghadapi kuasa data. Masyarakat perlu memahami bagaimana informasi pribadi dimanfaatkan, serta menuntut transparansi dari lembaga dan perusahaan yang mengelola data. Selain itu, pendidikan digital harus menanamkan nilai etika, tanggung jawab, dan privasi sejak dini.

Hanya dengan kesadaran dan literasi digital yang tinggi, manusia dapat tetap menjadi subjek yang bebas bukan sekadar objek yang diawasi dalam panopticon digital modern.